Sejengkal Tanah Kopak
Author: Agoes S. Alam
ISBN: 978-634-04-2402-7
Pages: 57 (ix + 48) pages
Publisher: Focus Publishing Intermedia
Kumpulan puisi “Sejengkal Tanah Kopak” karya Agoes S. Alam adalah sebuah artefak sastra yang menjadi rekaman seismografik untuk menangkap getaran perlawanan dari jiwa-jiwa yang terpinggirkan. Untuk membedahnya secara utuh, analisis ini akan diperdalam dengan tinjauan gaya puitik, dimensi psikologis kolektif, serta diperkuat oleh resonansi pemikiran para filsuf dan ilmuwan sosial.
Gaya kepenulisan Agoes S. Alam dalam kumpulan ini dapat diidentifikasi sebagai “puisi pamflet” atau “puisi realis-sosial”. Gaya ini memiliki ciri khas yang sangat jelas dan fungsional seperti tidak ada kata yang terbuang sia-sia. Setiap diksi dipilih bukan untuk keindahan estetik semata, melainkan untuk kekuatan dampaknya.
Adanya kelugasan brutal, puisi-puisi ini menanggalkan basa-basi puitik dan berbicara secara langsung, terkadang dengan nada yang marah dan menuduh. Ia berfungsi layaknya pamflet yang disebar untuk menyadarkan publik.
Sementara imaji yang dibangun berakar kuat pada realitas kaum tertindas: tanah gersang, perut lapar, tangan terkepal, dan tatapan mata yang menantang. Terakhir adanya orientasi komunal, ketika subjek dalam puisi seringkali bukan “aku” yang personal, melainkan “kami” yang komunal, memberikan suara bagi kolektivitas yang tak bersuara.
Gaya ini adalah pilihan sadar untuk menjadikan puisi sebagai alat perjuangan, bukan sekadar ruang kontemplasi pasif. ~
The poetry collection Sejengkal Tanah Kopak by Agoes S. Alam stands as a literary artifact that functions like a seismographic record, capturing the tremors of resistance from marginalized souls. To examine it thoroughly, this analysis will delve into its poetic style, the dimensions of collective psychology, and will be further reinforced by the resonances of philosophical and social scientific thought.
Agoes S. Alam’s writing style in this collection can be characterized as pamphlet poetry or social realism poetry. This style is marked by its clear, functional qualities: there are no superfluous words. Each word is chosen not merely for aesthetic beauty, but for the power of its impact.
With a brutal candor, these poems discard poetic niceties and speak directly, at times in an accusatory and angry tone. They function much like pamphlets, distributed to awaken public consciousness.
The imagery is deeply rooted in the lived reality of the oppressed: barren land, empty stomachs, clenched fists, and defiant gazes. There is also a strong communal orientation, where the poetic subject is often not the personal “I” but the collective “we,” giving voice to the voiceless.
This style is a conscious choice, to make poetry a tool of struggle, not merely a space for passive contemplation. ~